KASUS KORUPSI MELINDA DEE DI
CITIBANK
Sejak Agustus 1989,
Malinda Dee tercatat sebagai karyawan di Citibank. Sejak diterima, ia dikenal
sebagai anak emas karena kemampuannya membawa nasabah-nasabah. Hingga pada
akhirnya ia menjabat sebagai Relationship Manager Citibank, dengan pangkat Vice
President yang merupakan pangkat tertinggi untuk karyawan di Citibank.
Para nasabah yang
ditangani Melinda biasanya adalah nasabah kelas kakap dengan dana lebih dari
500 juta. Melinda pun melakukan modus penipuan dengan menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan para nasabah kepadanya. Akan tetapi tidak mudah bagi
Melinda mendapatkan kepercayaan para nasabah. Ia terlebih dahulu memperlakukan
mereka secara istimewa, misalnya dengan melayani di ruang khusus di kantor
Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya dalam waktu singkat, tetapi
hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya. Dari situlah Melinda
mencermati pola transaksi nasabah yang bersangkutan, kemudian mengajukan blanko
kosong untuk ditanda tangani. Blanko inilah yang ia gunakan untuk menarik dana
guna dialirkan ke beberapa perusahaan pribadi miliknya dengan memerintahkan Dwi
Herawati selaku bawahannya. Nilainya mencapai antara Rp 1 miliar hingga Rp 2
miliar. Bukan hanya Dwi, tetapi masih ada 2 bawahannya lagi yang turut serta
dalam kasus ini yaitu Novianty Iriane dan Betharia Panjaitan. Ketiga bawahan
Melinda tersebut menjabat sebagai Head Teller Citibank. Untuk menutupi
bukti kejahatannya, Melinda membuat perusahaan pribadinya yang dialiri dana
nasabah Citibank atas nama orang lain. Beberapa perusahaan pribadi yang dialiri
dana tersebut ysitu PT Sarwahita Global Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT Qadeera
Agilo Resources dan PT Axcomm Infoteco Centro. Dari perusahaan-perusahaan
tersebut, Melinda juga menarik uang untuk kepentingan pribadinya, Andhika,
suaminya maupun adiknya, Visca Lovitasari serta suami Visca, Ismail bin Janim.
Andhika menampung uang cucian itu ke banyak rekening dengan identitas yang
berbeda karena munggunakan KTP palsu. Dan Andhika pun juga terseret dalam kasus
ini dengan tuduhan tindak pidana pencucian uang.
Hingga akhirnya pada
tanggal 25 Maret 2011, Mabes Polri mengungkap kasus penggelapan dana nasabah di
Citibank atas laporan nasabah. Polisi menangkap Melinda dan turut menyita
sejumlah barang bukti, antara lain dokumen-dokumen transaksi dan 1 unit mobil
merek Hummer-3 Luxury Sport Utility B 18 DIK yang ditaksir seharga Rp 3,4
miliar. Diduga Melinda sudah melakukan tindakan jahatnya sudah tiga tahun
terakhir ini sejak tahun 2009 lalu.
Dan pada tanggal 18
Agustus 2011, Melinda pun meringkuk dalam Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri
setelah menjalani perawatan selama tiga bulan di rumah sakit untuk menjalani
operasi payudara tahap kedua yang sebelumnya sudah dilakukan tahap pertama pada
tanggal 14 Juni 2011.
Kasus ini relatif
terhambat penyelidikannya karena sejauh ini baru tiga nasabah yang berani
melapor polisi. Korban Melinda diduga lebih dari 3 karena ia memiliki ratusan
nasabah. Proses penyelidikan juga terhambat aturan perbankan yang merahasiakan
identitas dan ajumlah dana nasabah dan saat ini penyelidikan masih tertuju pada
tiga nasabah saja.
Andhika didakwa melanggar
Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal
65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2)
KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Adapun Visca ditetapkan
diadili setelah menampung dana dari Melinda senilai lebih dari Rp8miliar, dalam
kurun waktu 24 Januari 2007 sampai tanggal 19 Oktober 2010. Tahap pertama
Melinda menyetor sebesar Rp2.063.723.000. Lalu, Malinda mengirim lagi
Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya Rp66juta, dan terakhir Rp401.480.000. Jaksa
mengatakan, dari tiap transaksi itu, Visca mendapat imbalan sebesar Rp5 juta.
Sedangkan suaminya, Ismail yang juga diadili didakwa menampung uang dari
Melinda sekira Rp20,4 miliar sejak bulan Januari 2010 hingga Oktober 2010 dalam
51 kali transaksi.
Sementara itu, jaksa
menjerat Melinda dengan pasal berlapis, yaitu pasal dalam Undang-Undang
Perbankan dan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dia
dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal
55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP.
Kedua, Pasal 3 ayat 1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25
Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3
Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun
penjara.
Kasus ini tentunya bisa
menimbulkan kerugian dan dampak buruk bagi dunia perbankan Indonesia serta
Citibank, khususnya pada manajemen likuiditasnya. Manajemen likuiditas adalah
Kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup utk memenuhi semua
kewajibannya maupun komitmen yg telah dikeluarkan kpd nasabah serta pengelolaan
atas reserve requirement (RR) atau Primary reserve atau Giro wajib minimum
sesuai ketentuan BI, dan secondary reserve. Resiko yang dapat timbul apabila
gagal dalam manajemen likuiditas adalah resiko pendanaan dan resiko bunga.
Bisa dikatakan bahwa
implikasi negatif dari kasus ini, Jika Citibank tidak bisa atau tidak memiliki
kemampuan dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya
maupun komitmen yang telah dikeluarkan nasabah sebab penggelapan dana oleh
Malinda Dee ini maka Citibank bisa saja dilikuidasi oleh Bank Indonesia serta
hilangnya trust atau kepercayan nasabah dan masyarakat kepada Citibank pada
khususnya dan perbankan indonesia pada umumnya. Informasi baru, Citibank
mengkonfirmasikan ke masyarakat bahwa pihak Citibank menjamin uang nasabah dan
aman.
DAFTAR
PUSTAKA